Sore itu saya sedang asyik berkendara pulang menuju ke rumah Graha, kebetulan saya tinggal di perumahan Graha Bintaro Jaya, rumah mungil hasil pembelian istri saya dari fasilitas housing loan kantor dengan bunga yang lebih murah dari bunga bank kebanyakan. Saya sangat bersyukur melalui fasilitas housing loan yang diperoleh istri saya itu -fasilitas yang diberikan kepada karyawannya yang sudah loyal mengabdi selama 8 tahun - akhirnya kami dapat memiliki rumah untuk membesarkan anak-anak kami dan membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera, meskipun nyicil - dimana kebanyakan kolega saya dan istri saat ini masih pada ngontrak dengan alasan bisa tinggal dekat dengan kantor sehingga lebih irit dan efisien dalam biaya - meskipun beresiko menjadi orang nomor 1 yang dipanggil bos jika butuh orang untuk lembur atau ketauan sedang tidak benar-benar sakit saat ijin tidak masuk kantor.
Padahal menurut saya sebaliknya daripada uang keluar tiap bulan untuk bayar biaya kost/kontrakan dan pada akhirnya tidak punya apa-apa, mending untuk bayar cicilan KPR yang jumlah besarannya hampir sama. Bayangkan saja ada salah satu teman saya yang biaya kost/kontrakannya saja sama dengan besar gaji setengah bulan istri saya,atau setara dengan besar gaji satu bulan saya, atau setara dengan gaji 10 baby sitter saya, atau setara dengan dengan besarnya cicilan bulanan KPR rumah seharga Rp. 1 Milyar - rumah dengan 4 kamar tidur, 1 kamar pembantu, 2 kamar mandi dengan luas tanah 250M2 dan luas bangunan bertingkat 200M2.
Perusahaan istri saya cukup pintar. Dia berikan pinjaman untuk karyawan apapun bentuknya : housing loan, car loan, sundry loan dan loan-loan lainnya kepada para karyawan yang telah dinilai bekerja dengan baik dan loyal dengan bunga ringan dan jangka waktu yang sangat...sangat panjang, 15 tahun sampai 25 tahun, tergantung masa kerjanya dan dengan jumlah plafond yang cukup besar, sehingga kami merasa rugi kalau kami tidak mengambil fasilitas itu dengan plafond yang paling mentok dan jangka waktu cicilan yang paling panjang.... kalau perlu seumur hidup.
Sebetulnya telah kami sadari sepenuhnya, dengan disetujuinya pinjaman yang istri saya ajukan, berarti telah disetujuinya penggadaian waktu, tenaga dan loyalitas istri saya untuk bekerja diperusahaan itu selama cicilan pinjaman belum lunas. Memang hal itu bagi kami merupakan win-win solution : disatu sisi kami mendapat fasilitas yang cukup baik yang dapat mensejahterakan hidup kami segera mungkin, di sisi lain perusahaan dijamin akan tumbuh berkembang lebih maju karena sudah pasti mendapat support dan loyalitas dari karyawan- karyawan terbaiknya.
Dampak positif lainnya adalah image kami yang mulai nampak sejahtera itu juga membawa image positif bagi keluarga kami - respek, penghormatan, pujian, sapaan ramah - baik dari keluarga besar maupun lingkungan tempat tinggal kami. Bahkan ada keluarga jauh yang tadinya tidak begitu kami kenal dan tidak terlalu akrab berubah menjadi sangat kenal dan sangat akrab, karena secara rutin mereka bersilaturahmi ke rumah kami akhir-akhir ini setiap bulannya.
Dampak positif ini patut saya syukuri, karena sedikitnya saya sudah mulai mengamalkan sunah nabi untuk selalu menjalin silaturahmi dengan sesama. Saya tidak perlu bersusah payah lagi pergi jauh-jauh untuk menemui keluarga dan handai taulan, merekalah yang datang untuk bersilaturahmi. meskipun saya sadari hal ini berdampak juga pada budget keuangan kami, disatu sisi budget untuk bensin dan biaya perjalanan dapat kami tekan dan turunkan, disisi lain budget untuk silaturahmi, sosialisasi dan sodakoh menjadi meningkat, tapi itu saya yakini sebagai konsekuesi hidup bersosialisasi. jika bukan kita yang merasa mampu dan dianggap mampu yang membantu saudara sendiri, lalu siapa lagi?
Saya jadi teringat pengalaman hidup beberapa tahun silam,tepatnya di seputar tahun 97-2000an, saat dimulainya krisis moneter negeri ini. Saat itu saya berada dalam masa yang paling memprihatinkan. Bagai jatuh tertimpa tangga pula. Saya baru lulus, tanpa pekerjaan tetap, menganggur, tidak berpenghasilan,tidak punya uang, dan puncaknya adalah ketika ditipu orang sebesar 200jt-an - karena terlau percaya padanya. Saya ingat sekali andalan cash flow saya saat itu adalah dari kedermawanan Ibu, kakak saya, dan teman saya. Betapa saya baru dapat merasa dan dapat bergerak setiap kali saya mendapat suntikan dari mereka.
Saat itu saya selalu berdoa untuk limpahan rezeki bagi siapa saja yang ikut membantu saya.
Saya bersyukur dengan rejeki yang telah dilimpahkan Allah kepada saya saat ini. Saya bersyukur karena pernah berada di dua belah sisi kehidupan, yaitu sisi yang meminta dan diberi dan saat ini berada di belahan sisi yang dapat memberi...alhamdulillah.
Semakin banyak kita memberi maka akan semakin berkelimpahan rejeki kita
Jika kita memberi, berilah seikhlas kita dan lupakan..
Kekurang berlimbahnya rejeki kita saat ini, mungkin karena selama ini kita kurang melakukan sedekah dan amal.
Dalam rejeki yang kita peroleh terdapat hak dan rejeki orang lain.
Dan masih banyak kalimat-kalimat yang menyuruh kita untuk berbagi dengan sesama tanpa mengharapkan balasannya yang saya baca dari buku, dengar dari radio dan seminar EU.
Saya jadi bertanya, apakah benar makna dari kalimat yang sering disoundingkan oleh kebanyakan orang : "Dalam hidup kita harus saling take and give". Apakah tidak sebaiknya dirubah kalimatnya menjadi "Dalam hidup ini kita harusnya give and give and forget, never think about take", karena saya merasa sesungguhnya memang lebih bahagia dan berkelimpahan jika menjadi orang yang selalu memberi.
How about You?
Senin, 07 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar