Petang itu dalam perjalanan kami pulang ke rumah, di tol Bintaro - Serpong, tiba-tiba Hetti istriku bertanya " Nanti kalo sudah pada besar, anak kita Haikal sama Harits, sayang sama kita nggak ya?"
"Lho kenapa sich, kok tiba-tiba ngomong seperti itu?"
"Iya.... tadi aku di kantor ketemu customer, ibu-ibu yang saking sayangnya sama anak laki-lakinya, dia mau bela-belain berdiri ngantri di teller kartu kredit cuma untuk membayar hutang anaknya itu. katanya dia nggak mau anaknya terlilit hutang, katanya dulu dia tidak seperti itu, tidak punya utang. semenjak kawin dia berani utang di bank dan utangnya semakin banyak.
" wuaah.... enakk bener yang jadi anaknya, lho kamu kok nggak sekalian tanya ke Ibu itu apakah dia butuh anak angkat?" candaku sambil membayangkan hutangku yang mulai setinggi langit. Mungkin aku salah mengartikan kata-kata soekarno " Gantungkan cita-citamu setinggi langit" bukannya " Gantungkan utang-utang mu setinggi langit"
Kasian ya ibu itu, apakah anaknya tau pengorbanan yang dilakukan Ibu itu, bukankah seharusnya diusianya yang senja anaknyalah yang bela-belain ngantri atau bela-belain membelikan sesuatu agar Ibu itu senang dan bahagia, bukannya malah ngebayarin utangnya.
Apakah nanti kalau anak-anak sudah besar dan kita sudah tua, akan mengalami hal yang sama, atau kebalikannya? tanya istriku bertubi-tubi, tidak ingin pengalaman tadi siang itu terjadi pada kami.
Ketakutan-ketakutan seperti itu akhir-akhir ini memang sering menghantui pikiran kami, apalagi banyak berita di koran dan televisi bagaimana seorang anak berani kepada orang tuanya, khususnya Ibunya. hanya karena tidak diberi uang jajan, tidak dibelikan sepeda motor, sepeda dlsb mereka nekat menganiaya orang tuanya sendiri bahkan sampai meninggal.
apalagi gaya pergaulan anak-anak masa kini sudah mengalami perubahan, semakin kenalnya dengan dunia luar seperti internet, tv, media lainnya mau-tidak mau mendorong perubahan cara berkembang dan berfikir anak.
Dek.. udahlah, kita tidak tau kedepannya anak kita seperti apa, yang penting saat ini kita berusaha untuk mendidik dengan benar, yaa paling tidak cara mendidik yang menurut kita benar....
dek... lanjutku. Menurutku, ukuran kadar sayang dan cinta anak kepada kita, dapat diukur melalui kadar sayang dan cinta kita kepada Ibu dan Bapak kita. semakin besar rasa cinta kita kepada Ibu dan Bapak kita, akan semakin besar pula rasa cinta anak kepada kita. Dan rasa cinta kita kepada Ibu dan Bapak kita harus sama dengan rasa cinta kita kepada anak-anak kita.
Ingat nggak, waktu Haikal sakit panas atau sakit mata, waktu itu meski sudah jam 1 malam, kita bela-belain mengantar Haikal ke rumah sakit karena kita sangat khawatir. ingat nggak waktu Haikal pingin dibeliin ayam goreng malam-malam, karena lapar dan doyannya cuma itu, kita bela-belain muter-muter nyari warung nasi uduk yang masih buka demi mendapakan permintaanya. Hal itu kita lakukan tanpa kita sadari lho, kita lakukan semata-mata karena perasaan sayang kita sama Haikal dan perasaan bahagia apabila sudah dapat berusaha memenuhi kebutuhan Haikal.
Kalo perasaan yang sama itu muncul pada saat kita melakukan hal yang sama untuk Ibu dan Bapak kita.... insya allah.. cinta anak kepada kita sama besarnya dengan cinta kita kepadanya. karena hal itu terefleksi pada perasaan cinta kita kepada Ibu dan Bapak.
Tapi terus terang ya dek.....
Aku sangat sayang sama Haikal dan Harits....
aku biasakan dari awal untuk sering memeluk, mencium, mengelus dan mengungkapkan perasaan dan ucapan Ayah sayang sama Haikal atau I Love You pada saat telpon
Mungkin hal itu merupakan caraku agar nantinya Harits dan haikal tidak sungkan-sungkan untuk mengungkapkan rasa sayang dan cintanya pada kita.
mungkin sebagai kompensasi atas yang kurasakan selama ini, yaitu ucapan sayang secara langsung dari Bapak dan Ibuku. Aku yakin, beliau tidak mengucapkan secara langsung rasa sayang itu bukan berarti karena mereka tidak sayang dan cinta kepada ku, tapi semata-mata karena doktrin/ajaran dari orang tuanya atau lingkungannya waktu itu sehingga tidak dapat mengungkapkan perasaannya secara lisan dan terbuka dan menganggap ungkapan itu suatu hal yang biasa.
Adanya perbedaan latar belakang lingkungan dan budaya jawa yang selalu mengedepankan perasaan tidak enakan atau sungkan dan selalu harus memendam perasaan agar tidak jelek dinilai oleh orang lainlah yang menyebabkan kondisi ini terjadi, ajaran ini diteruskan oleh Bapakku sehingga hal itu menular kepada ku, aku jadi sungkan dan risih juga jika mengungkapkan perasaan sayangku dan cintaku pada Ibu dan Ayahku secara lisan.
sehingga melalui Blog ini aku coba untuk mengungkapkan bahwa "Hari sangat sayang sama Ibu dan Bapak"
Meskipun demikian sampai saat ini aku percaya bahwa Ibu dan Ayah sangat sayang kepada ku, tapi sebagai seorang anak aku juga ingin mendengar Bapak Bilang "Bapak Sayang lho sama Hari" secara langsung dari mulut Bapak, meskipun disadari bahwa sudah tidak mungkin karena Bapak telah meninggal.
Ungkapan perasaan itu menurutku ternyata sangat perlu, pernah dengar cerita, disuatu perusahaan seorang bos yang kebetulan menjabat sebagai direktur, direpotkan dan dibuat kalang kabut oleh rencana resign sekretarisnya. Sekretaris itu sudah bekerja sama selama 5 tahun dengan baik. Bos menyayangkan rencana sekretarisnya itu karena Dia menilai kinerja sekretarisnya sangat memuaskan, bisa kerja secara mandiri, teliti dan tegas, sehingga kegiatannya sebagai direktur sangat terbantukan. Akhirnya dipanggillah sekretarisnya untuk berbicara empat mata.
Tuti...aku mendengar kabar kalau kamu berencana resign untuk mengurus bisnismu sendiri, kok kamu lakukan mendadak? tahukah kamu kalau aku sebetulnya puas dengan kinerjamu, kamu sangat ramah, pandai, mandiri, proaktiv. malahan aku ada rencana untuk mempromosikan kamu menempati posisi yang lebih tinggi dari posisi saat ini. tapi sayangnya belum sempat aku bicarakan dengan pihak HRD kamu sudah berniat untuk mengundurkan diri.
lho pak... saya mengira selama ini anda tidak terlalu suka dengan saya, saya selalu diberi tugas yang mengharuskan saya pulang malam, saya mengira kinerja saya tidak baik dan anda berusaha untuk membuat saya tidak betah, dan setelah berunding dengan suami maka saya cari alasan mengurus bisnis sendiri sebagai alasan saya resign. padahal alasan sebenarnya adalah pindah keperusahaan lainnya dengan gaji yang lebih tinggi namun tidak terlalu beda dengan gaji sebelumnya, sebetulnya dia sudah betah dengan lingkungannya namun karena tidak adanya komunikasi secara lisan, si sekretaris membuat asumsinya sendiri sedangkan si bos tidak mengutarakan rewardnya secara lisan kepada sekretrarisnya sehingga tidak tahu kondisi sebenaranya.
hal ini sering kita jumpai dalam hidup ini, sebaiknya perasaan dapat diungkapkan secara lisan, sehingga tidak timbul asumsi-asumsi yang justru keliru.
How About You ?
Selasa, 19 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar