Senin, 02 Juni 2008

TAK PEDULI KARENA PEDULI

Belum selesai urusan dengan pagar carportku, begitu mobilku sudah didalam, pagar itupun harus ditutup kembali - berarti... perjuangan yang sama seperti ketika membukanya- Ku dengar tangisan Haikal - anak pertamaku yang baru sekolah di TK A, yang menurut pak Redi(rekan kantorku) mirip sekali dengan aku cuma dalam ukuran kecil - berteriak-teriak memanggil namaku.
"Ayah.....huaaaa......huuaaaa.....
Ayah.. huuaa....huuaa....." tangisnya yang semakin keras setelah mengetahui yang datang itu aku ayahnya. Aku bergegas secepat kilat, pikiranku membayangkan telah terjadi cidera dengannya ; entah kejepit pintu, jatuh dari sofa, kejedot meja atau cidera-cidera sejenis yang biasa dialami oleh anak-anak seumurannya. Namun betapa lega hatiku setelah melihat kondisinya bukan seperti apa yang kubayangkan.

"Kenapa Haikal......kok nangis?......kenapa sayaaaang?...." tanyaku sambil mengelus elus rambut dan punggungnya.
"Ayah.....marahin aja tante Iyan......tante iyan nakal......marahin aja yah....." adunya berulang-ulang sambil menunjuk tante Iyan - adik iparku, yang tengah menggendong Harits anak keduaku.
"Ayooo ayah....marahin aja tante Iyannya..ayoo ayah..." menegaskan seruannya yang pertama sambil menggandeng tanganku menuju kamar. Untuk meredam tangis Haikal, Akupun berperan bak seorang ayah yang tengah memarahi anaknya-yaitu tante Iyan. karena memang biasanya tante iyan itu rada usil, suka godain haikal, dan selalu kabur kalo haikal sudah nangis akibat godaanya, hal itu kadang membuatku kesal juga. Jadi momen itupun kumanfaatkan untuk menumpahkan kekesalanku atas keisengannya selama ini.

"ayooo ayah itu kurang marah.......yang galak....itu belum galak....." tangis anakku belum usai memintaku untuk berlagak lebih marah dari sebelumnnya.

Karena tidak dapat memenuhi permintaan anakku untuk bertambah lebih galak (mungkin ini karena peran galakku tidak sekuat karakter asliku yang baik hati...., tidak dapat berbohong pada aura dan gesture tubuhku) dan setelah aku lelah berlagak, akhirnya aku bertanya kepada Iyan, "Kenapa sich Yan....iseng banget sich, nggak malu kamu, udah umur hampir 1/4 abad berantem sama anak kecil..." tanyaku bersikap menuduh.

"Bukan begitu mas......Haikal nangis abis kubilangin jangan pukul-pukul tante, masak Haikal mukul tante pake guling sampe kena Harits..... tuh liat Harits kena kepalanya...."
Setelah dijelaskan oleh adik iparku itu beberapa saat, barulah aku mengerti duduk persoalannya, ternyata anakku lah yang salah. Aku balik menasehati Haikal untuk jangan melakukan hal itu dan berusaha berbicara untuk menjelaskan akibat dari perbuatannya kepada Iyan dan Harits. Tangis Haikal pun bertambah keras, karena merasa dia yang sebetulnya dizalimi oleh tante iyan- sambil memintaku untuk terus memarahi tantenya. dan semakin keras ketika aku tidak dapat menuruti permintaannya .

Semakin aku berusaha dengan keras bicara dengannya dan berusaha menasehatinya, semakin keraslah tangisannya......akhirnya aku bertindak seolah-olah aku tidak peduli oleh tangisannya. aku diamkan dia.....aku cuekin....aku tonton tv untuk mengalihkan ganguan suara tangisannya sambil mengunyah makan malamku, meskipun dalam hati, aku merasakan bahwa aku sangat sayang sama Haikal. melihat ayahnya tidak membelanya semakin kejer tangisannya.

setelah sekitar 10 menit berteriak-teriak dan menangis dan sudah capek, mungkin.... akhirnya berhenti juga tangisannya..... suasana yang tadinya hiruk pikuk bak pasar pagi lambat laun berubah menjadi hening.....hanya suara alunan lagu Gita Gutawa dan Andra and the backbone "sempurna" yang mengalun tinggi.

Kulirik Haikal yang duduk disamping sofaku.... bersender diam pada bangku duduk mini berbentuk jari terbuka berwarna ungu yang dulu ku beli dengan harga diskon di kantorku.
"Udah nangisnya.....udah capek ya.....udah lega sekarang ?" tanyaku sambil tersenyum bijak.
" Yah....Haikal mau makan mie goreng kaya ayah dooong...." responnya atas pertanyaanku. Aku tersentak namun senang. Sebuah permintaan yang akhir-akhir ini tidak pernahku dengar dari mulutnya. karena setiap kami menyuruhnya makan, selalu saja ada alasan untuk menolak.
"nanti juga kalo udah lapar pasti dia minta makan" kataku setiap kali Ibunya mengadu padaku. "Haikal susah sekali disuruh makan, semakin disuruh semakin saja susah dia menurut". Takut Haikal berubah pikiran, tanpa menunggu babibu lagi kusuruh Yani untuk membuat mie goreng, sama seperti menu makan malamku, mungkin karena aktivitas menangis selama 15 menit itu telah menguras kalori dan tenaganya.

Tak lama setelah selesai makan, kudengar cekikikan dan tawa haikal tengah bercanda dengan tante Iyan dan Harits-adiknya, sambil menonton spongebob yang disetel dikamar tidurnya.

sambil menonton CNBC, aku berfikir hikmah apa yang bisa kuambil dari kejadian kecil malam itu. Don't judje the book by it's cover, jangan menilai orang dari image/penampilannya, aku sudah hampir menuduh Iyan karena biasanya dia yang salah, untungnya aku bertanya.

jika ada persoalan aku harus dapat mendengar bagaimana persoalan itu bisa terjadi, dari semua sisi, dari semua versi, agar lebih objektive agar dapat menimbang dan menilai siapa yang benar dan tidak. Katakan tidak benar jika memang hal tersebut tidak benar, meskipun kepada orang yang paling dekat dan paling kita sayangi, namun dengan tujuan agar dia dapat memperbaikinya dan menjadi lebih baik lagi dimasa depan.

Biarkan bicara, dan dengarkan, bukankah Tuhan menciptakan kita dengan 2 telinga dan 1 mulut, agar kita dapat lebih banyak mendengar dari pada berbicara, lagipula biasanya kita sulit untuk mendengar pada saat kita berbicara. Biarkan unek-uneknya keluar terlampiaskan terlebih dulu sehingga tidak ada yang dipendam lagi dan lega.

Kita selalu punya pilihan atas respon yang ingin kita berikan. Untung saja aku tidak langsung terpancing marah dan merespon sesuai dengan kemauan Haikal saat itu, memarahi tante Iyan yang belum tentu salah. Pastinya diujung malam itu sementara Haikal sudah kembali bermain dan bercanda dengan tante Iyannya aku masih dongkol.

Sama seperti cerita ada dua orang tua yang saling baku hantam dan lapor ke polisi karena saling membela anaknya yang berhamtam saat bermain, namun saat itu anak-anaknya sudah saling akur dan berteman kembali....


How About You?

Tidak ada komentar: